Jumat, 10 Desember 2010

INDONESIA KU SAYANG, indonesia ku malang

Pernahkah kita merenungi tentang negara kita ini, peranan sejarah bagi kemajuan bangsa kita dan pengaruhnya pada masa sekarang ini?. Sejauh mana dan bagaimana pula pemahaman kita tentang realita budaya dimata masyarakat, khususnya para pemuda sebagai kaum yang dipercaya untuk memajukan bangsa ini?. Indonesia adalah sebuah negara yang besar, negara yang terkenal akan sejarahnya dan juga negara yang dikenal sebagai negara yang memilki ragam budaya. Ya “Negara yang terkenal akan budayanya”. Begitulah pandangan dunia pada negara kita ini, lantas bagaimana dengan pandangan penduduk lokal sendiri, masyarakat Indonesia, khususnya dari sudut pandang para pemuda dengan realita yang terjadi di dalam masyarakat?.
Sama dengan persepsi masyarakat pada umumnya, begitu pula dengan pandangan negara lain. “Budaya ya budaya “, kebiasaan yang telah ada dalam masyarakat yang dilakukan secara terus-menerus sesuai dengan kondisi dan waktu yang telah ditentukan, baik berupa tuntutan maupun suatu kewajiban yang dilakukan dalam suatu masyarakat tertentu. Indonesia patut bersyukur dan berbangga diri akan budayanya yang beraneka ragam, selain dari nuansa alamnya yang senantiasa menyajikan panorama yang memukau. Budaya juga salah satu hal yang patut diperhitungkan dalam memikat warga asing untuk berkunjung ke Indonesia.
Beberapa dari budaya yang ada di Indonesia telah mengalami sedikit perubahan, beberapa diantaranya dimodifikasi menjadi budaya yang lebih menarik, yang disesuikan dengan situasi dan kondisi yang ada sekarang tapi tetap tidak meninggalkan pesan yang dimaksud dalam budaya tersebut. Beberapa diantaranya juga masih ada yang tetap mempertahankan budaya mereka sesuai dengan apa yang diajarkan oleh orang-orang mereka terdahulu. Seiring dengan berjalannya waktu budaya terus mengalami perubahan. Budaya-budaya baru bermunculan dan perlahan-lahan budaya lama ditinggalkan, bahkan budaya telah mulai diartikan dan diperuntukkan untuk hal-hal lain. Salah satunya ialah kebiasaan masyarakat yang sedang hangat dibicarakan belakangan ini. Ya apalagi kalau bukan korupsi. Memang benar kata korupsi merupakan kata yang tidak asing lagi di telinga kita, bahkan mungkin kita telah bosan mendengarnya. Tidak usah menyeberang ke pulau lain untuk mencari contohnya. Korupsi bisa saja terjadi di daerah kita sendiri atau mungkin di lingkungan sekitar tempat kita tinggal, atau bahkan kita sendiri pernah melakukan korupsi. Pernahkah anda korupsi?, cobalah untuk menjawab. Hanya ada ya atau tidak. Kalau tidak, coba pikirkan lagi.
Sadar atau tanpa kita sadari korupsi telah ada di sekitar kita, bahkan bisa saja tanpa kita sadari atau bahkan kita sadari pula korupsi telah ada dalam kehidupan kita. Banyak paradigma-paradigma keliru yang telah berkembang di dalam masyarakat. “Temanku bisa korupsi, aku juga pasti bisa, jangan mau kalah” atau “Sedekah rajin, korupsi lebih banyak” atau bahkan “Mencuri sedikit menjadi penjahat, mencuri banyak menjadi penguasa”. Jangan sampai paradigma seperti ini bersarang di otak kita dan menjadi pedoman dalam menjalani pekerjaan kita sehari-hari. Mesti kita sadari pula bahwa anggapan-anggapan seperti itulah yang menyebabkan orang-orang cenderung tak mau kalah dalam memperkaya diri sendiri. Seakan tidak mau ketinggalan orang-orang menjadikan praktek korupsi sebagai sarana perlombaan yang tidak mau kalah dengan yang lainnya. Inilah budaya kita. Budaya masyarakat Indonesia. Budaya tidak mau kalah untuk memperkaya diri sendiri, mengikuti orang-orang terdahulu yang pernah melakukannya. Sungguh disayangkan negara Indonesia kaya, namun sayangnya miskin.
“Jayalah Indonesia”, apakah perkataan seperti ini memberi motivasi untuk kita bangkit atau malah kita hanya muak mendengarkannya, apalagi bila perkataan tersebut diteriakkan oleh orang-orang munafik?. Satu lagi, hal yang kini mulai hilang jati dirinya di mata masyarakat. Hukum. Mendengarkan kata tersebut, setiap orang pasti bisa menjabarkannya sesuai dengan realita hukum yang terjadi di negara kita yang tercinta ini, negara Indonesia. Kita pasti pernah mendengarkan ungkapan “Indonesia adalah negara hukum, namun sayang hukum Indonesia................”, kita pasti bisa menebak apa lanjutannya. Hukum di Indonesia tidak lagi dipandang sebagai tempat untuk mendapatkan suatu keadilan, hukum di Indonesia di pandang sebagai sarana bisnis untuk mendulang keuntungan dengan memanfaatkan kesempatan yang ada. Hukum hanya untuk kaum konglomerat. Bagaimana pun caranya masyarakat golongan menengah kebawah selalu menghindari yang namanya jalur hukum, sebisa mungkin mereka lebih memilih mengalah dari pada hanya menambah parah keadaan, yang ujung-ujungnya merugikan mereka sendiri. Kasus suap pun tak dapat dihindari, wajah wajah orang menahan tangis diabaikan, yang ada hanya skenario sandiwara yang dijalankan, jalur hukum hanyalah formalitas belaka. Anggapan seperti inilah yang telah membudaya didalam masyarakat, penyimpangan pelaksanaan hukum oleh penegak hukum dianggap wajar apabila uang sudah angkat bicara. Hukum adalah tonggak keadilan untuk kaum melarat, bukan hiburan untuk kaum konglomerat. Kalau hukum Indonesia telah rusak, maka dimana lagi kita akan meminta keadilan?, suka tidak suka, inilah Indonesia, negara kita tercinta, dan kita ada didalamnya.


Sekarang bukan saatnya merasa muak dengan budaya yang ada di negara kita Indonesia, masih banyak lagi budaya-budaya baru yang sedang berkembang. Kini, budaya yang mungkin mencakup semua budaya-budaya baru yang bermunculan yaitu Budaya UUD (Ujung-ujungnya Duit). Banyak contoh yang dapat kita temukan dari pernyataan tersebut. Salah satunya seorang polisi yang sedang menilang seorang pengendara sepeda motor, pengendara sepeda motor dimintai surat-surat kelengkapan berkendara, jika tidak ada, yakinlah bahwa tidak lama lagi kita pasti akan mengeluarkan uang untuk damai. Bagaimana kalau ada, jangan senang dulu, polisi punya banyak alasan, ada-ada saja yang dibuatnya, ujung-ujungnya yang penting duit. Apabila tujuannya sudah tercapai barulah segalanya lancar. Seorang polisi bukan hanya dinilai oleh atasannya, tapi masyarakatlah sebagai kritikus utama bagi para polisi. Inilah yang menjadi budaya dalam masyarakat, pandangan bahwa segala sesuatunya pasti ujung-ujungnya duit, maka jangan heran apabila dalam kehidupan tak jarang kita temui masyarakat tidak pernah mau berkompromi, tapi uanglah yang berbicara. Anggapan bahwa peraturan atau ketentuan yang ada hanyalah formalitas belaka telah merebak di sekitar kita. Hal ini sering mewarnai dunia pendidikan tanah air yang sengaja dipersulit hanya untuk satu tujuan, yaitu membuat orang terpaksa untuk membuktikan kemampuan diri dengan uang bukan lewat tes kemampuan yang sesungguhnya. Kalau sudah seperti ini, bagaimana dengan masyarakat yang mampu dalam hal teori, namun tidak mampu dalam hal materi?. Maka tentu saja pendidikan yang selama ini didapatkannya dengan susah payah tidak akan ada gunanya. Inilah Indonesia, negara yang kita banggakan.
Masikah kita bangga akan negara kita ini?, tidak ada pilihan lain, selain tentu saja ya. Hanya itulah satu-satunya pilhan, mengatakan tidak hanya memperburuk keadaan, namun apabila dalam kenyataannya ternyata banyak yang mengatakan tidak, berarti itu juga sebuah budaya, yaitu budaya kreatif dalam mencelah. Mengapa demikan?, ketahuilah masyarakat cenderung menghina negaranya sendiri apabila mendengarkan hal-hal yang kurang baik akan negaranya atau bahkan daerahnya sendiri, bahkan oleh masyarakat tertentu hal yang kurang baik tersebut sering dijadikan sebagai bahan lelucon. Ini sebuah fakta, masih berkaitan dengan contoh diatas tentang seorang pengendara sepeda motor yang ditilang dan ia kemudian menceritakannya pada temannya. Dia bertanya pada temannya, kurang lebih seperti ini “Apa bedanya polisi orang jawa dengan polisi yang orang Makassar?” kebetulan dia orang Makassar, lantas temannya menjawab “Tidak tahu” ia pun menjelaskannya perlahan “Kalau polisinya orang Jawa pasti basa-basi dulu meminta SIM, STNK dan segala macam, tapi kalau polisinya orang Makassar, dia tidak suka basa-basi pasti dia langsung bilang, berapa uang yang kau punya”, lantas dia bertanya kembali “Apa persamaannya polisi Jawa dengan polisi Makassar” temannya langsung menjawab “Sama-sama cari duit” setelah itu mereka tertawa bersama-sama. Hal ini tidak dapat kita hindari, budaya seperti ini memang sering melanda masyarakat Indonesia yang hanya dapat mencela tapi tidak ada kemauan untuk mengubahnya, mereka cenderung membiarkannya berlalu begitu saja menganggap sepeleh hal tersebut. Mengapa demikian?, hal itu disebabkan karena hal tersebut sudah dianggap sebagai budaya yang sulit untuk dihilangkan.
Sama halnya dengan seorang penulis artikel atau pun esai yang menulis mengenai keburukan suatu negara atau apapun yang berkaiatan dengan penyimpangan , mereka hanya dapat menulis dan beropini yang terkadang berlebihan tanpa ada tindakan yang nyata untuk merubahnya. Namun apabila anda berpikiran seperti itu, anda salah besar. Sebelum saya menjelaskan mengapa bisa demikian?, izinkanlah saya sedikit mencela dengan cara sedikit mengubah lagu Mars Pancasila karangan Sudarnoto
Garuda Pancasila
Dimanakah pendukungmu?
Patriot proklamasi
Tak mau berkorban untukmu
Pancasila dasarnya apa?
Rakyat adil makmur katanya
Pribadi bangsaku
Tidak maju, maju
Tidak maju, maju
Tidak maju, maju
Nah bagaimanakah perasaan anda apabila mendengarkan seseorang menyanyikan lagu Mars Pancasila seperti itu?, tentu saja emosi dan apabila anda juga termasuk orang yang langsung emosi apabila mendengar lagu yang seperti itu, berarti anda termasuk dari salah satu orang yang mengembangkan budaya cepat marah atau emosian. Mengapa demikian?, hal itu disebabkan karena masyarakat cenderung memandang sebelah mata hal tersebut. Lagu tersebut semata-mata bertujuan untuk membuka seluruh mata masyarakat Indonesia agar menyadari sudah seperti apa negara kita ini, sekaligus seruan untuk menggunakan tenaganya bukan untuk melakukan tindakan anarkis melainkan menggunakan tenaganya untuk berusaha agar memperbaiki nasib negaranya tercinta dengan semampunya. Seperti itulah hakikatnya tujuan dari seorang penulis, bukan sekedar beropini belaka, tanpa ada maksud yang ingin diungkapkan.
Terdapat sebuah fakta nyata, yang mungkin hanya beberapa orang yang menyadarinya. Masih ingatkah kita dengan kampanye pemilihan Presiden periode 2010-2015 lalu. Waktu itu seorang calon Presiden yang berasal dari sebuah daerah yang bisa dibilang orang yang mengundang kontroversi apabila menjadi Presiden, anggap saja nama daerah itu adalah daerah X. Nah letak permasalahannya adalah ada seorang yang terlahir dari daerah X, tapi ia mendukung calon lain dan bahkan menghina calon dari daerahnya sendiri, kurang lebih ia mengatakan seperti ini “Orang dari daerah X bukan saatnya untuk menjadi seorang presiden”. Terang saja perkataan tersebut membuat orang dari daerah X tersinggung dan mencap orang tersebut sebagai pengkhianat, dan juga membakar poster dan baliho orang tersebut. Namun ternyata berawal dari hinaan tersebut jumlah suara di daerah X tersebut untuk calon Presiden yang dimaksud meningkat dari yang sebelumnya diperkirakan. Bagi orang yang berpikiran positif pasti mengganggap hinaan tersebut sebagai motivasi untuk memilih calon yang dihina, tapi bagi mereka yang telah membakar poster serta baliho dan mencap orang tersebut sebagai pengkhianat, orang-orang tersebut merupakan orang-orang yang mengembangkan budaya Indonesia, budaya anarkis, apa-apa diselesaikan dengan kekerasan tanpa ada pikir panjang, bisanya hanya menghina. Budaya inilah yang kebanyakan dianut oleh masyarakat Indonesia. Maka jangan heran jika akhir-akhir ini sering terjadi kerusuhan, itu semua disebabkan karena masyarakat Indonesia tidak menyadari bahwa mereka telah mengembangkan budaya yang tidak semestinya dilakukan. Pada kenyataannya inilah negara kita, negara Republik Indonesia. Indonesiaku sayang, Indonesiaku malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar